Aksara Jawa

Mengenal Aksara Jawa dan Cara Penulisannya

Posted on

Aksara Jawa adalah huruf tradisional yang berasal dari dan digunakan oleh sebagian orang Indonesia yang tinggal di pulau Jawa. Aksara Jawa disebut juga Hanacaraka karena kalau dibaca hurufnya secara berurutan maka bunyinya “Hanacaraka”.

Pengaplikasian aksara Jawa sangat terbatas sejak dihapusnya Bahasa Jawa dari Kurikulum Pendidikan Indonesia, kalau ada yang menggunakannya berarti orang tersebut sangat peduli dengan peninggalan nenek moyang. Di Jawa sendiri tinggal Yogyakarta dan Solo yang masih sering dijumpai aksara Jawa.

Coba dulu kerajaan yang ada di Jawa sebagai bangsa pemenang, pasti aksara atau hurufnya digunakan hingga Asia Tenggara seperti luasnya ekspansi kerajaan Majapahit. Kalau kita pelajari dan amati bentuk aksara Jawa mirip aksara Dewanagarai dari Hindia dan aksara Thai dari Thailand, mungkin ada kaitannya dengan agama Hindu yang ada di Jawa.

Baca: Pengertian Angka Romawi dan Cara Penulisannya

 

Penggunaan Aksara Jawa di Era Modern

Hanya ada 2 daerah yang masih menggunakan aksara Jawa yaitu Yogyakarta dan Solo (Surakarta). Keduanya memiliki aturan penulisan tersendiri dimana untuk Yogyakarta huruf latin ada di atasnya aksara Jawa sedangkan di Solo huruf latin di bawahnya aksara Jawa.

Huruf Latin diletakkan di atas aksara Jawa (Pergub DIY No. 70/2019)
Aksara Jawa diletakkan di atas huruf Latin (Perwal Solo No. 3/2008)

 

Sejarah Asal-Usul Aksara Jawa

Aksara Jawa diciptakan seorang pengembara bernama Aji Saka, beliau merupakan seorang raja dari Kerajaan Medang Kamulan. Konon Aji Saka ingin mengalahkan Raja Dewatacengkar yang gemar menyiksa rakyatnya. Aji Saka dan sang raja terlibat pertarungan.

Aji Saka mampu mengalahkan sang raja menggunakan pusaka miliknya. Setelah Dewatacengkar terkalahkan, Aji Saka menginginkan pusaka miliknya untuk disimpan disebuah tempat tersembunyi. Aji Saka memberikan perintah kepada abdinya bernama Sembada untuk menjaga pusaka tersebut di Pulai Majeti. Aji Saka berpesan kepada Sembada untuk tidak memberikan pusaka tersebut kepada siapa pun kecuali Aji Saka.

Suatu hari Aji Saka membutuhkan pusaka tersebut dan mengutus abdinya yang lain bernama Dora untuk mengambilnya. Saat Dora sampai di Pulau Majeti dan bertemu Sembada yang tengah menjaga pusaka tersebut, Dora mengutarakan niatnya.  Sembada yang memegang teguh permintaan Aji Saka pun menolak memberikan pusaka tersebut kepada Dora. Sementara Dora merasa benar karena diminta Aji Saka untuk mengambil pusaka tersebut.

Aji Saka pada saat itu melakukan kesalahan dengan memberikan dua perintah berbeda kepada dua abdi setianya. Kesalahan yang dilakukan Aji Saka membuat kedua abdi setianya bertarung habis-habisan, hingga meninggal. Aji Saka kemudian mengabadikan kisah Dora dan Sembada dalam ukiran aksara yang dibuatnya. Ukiran tersebut kini dikenal sebagai hanacaraka atau aksara Jawa.

Aksara Jawa digunakan secara resmi untuk penulisan surat menyurat sejak berdirinya Kerajaan Majapahit pada abad 17 Masehi. Agar lebih mudah digunakan, aksara Jawa mulai dibukukan pada abad ke 19.

Pada masa perkembangan Hindu Buddha di tanah Jawa, aksara Jawa digunakan sebagai penerjemah bahasa Sansekerta. Lalu pada perkembangan periode perkembangan agama Islam yang berlangsung sejak zaman Kesultanan Demak sampai masa Pajang akhir.

Aksara Jawa digunakan untuk menuliskan ajaran-ajaran agama Islam dan kitab-kitab agama Islam. Salah satu manuskrip yang terkenal pada masa itu adalah Serat Suluk Wujil dan Serat Aji Saka.

 

Mengenal Aksara Jawa

Aksara Jawa memiliki 20 aksara dasar yaitu: Ha, Na, Ca, Ra, Ka, Da, Ta, Sa, Wa, La, Pa, Dha, Ja, Ya, Nya, Ma, Ga, Ba, Tha, Nga. Setiap aksara memiliki pasangan yang melekat dengannya yaitu: h, n, c, r, k, d, t, s, w, l, p, dh, j, y, ny, m, g, th, ng.

Pasangan Aksara Jawa adalah simbol-simbol yang berguna untuk mematikan atau menghilangkan huruf vokal pada aksara dasar Hanacaraka. Aksara Jawa pada dasarnya memiliki vokal berupa /a/. Namun dalam penyusunan kalimat biasanya akan ditemui susunan kata yang mengharuskan agar huruf vokalnya dihilangkan. Disinilah peran pasangan Aksara Jawa, yaitu untuk menghilangkan atau mematikan huruf vokal pada aksara dasar.

Karena jumlah aksara ada 20, maka pasangan Aksara Jawa pun juga berjumlah 20. Artinya, masing-masing aksara memiliki pasangannya sendiri-sendiri. Secara aturan, pasangan Aksara Jawa hanya boleh ditulis di tengah kata atau kalimat. Pasangan tidak boleh ditulis di awal kata atau kalimat. Sebagai catatan, pasangan yang ditulis adalah pasangan aksara yang berada setelah aksara yang ingin dimatikan vokalnya. Penulisannya dari kiri ke kanan.

 

Aksara Wilangan

Aksara Wilangan adalah angka atau bilangan Jawa. Jadi aksara Jawa ini sangat komplek dan rumit dalam penggunaannya.

Berikut ini aksara Wilanga dari yang terkecil ke besar (dari kiri ke kanan):

꧐ ꧑ ꧒ ꧓ ꧔ ꧕ ꧖ ꧗ ꧘ ꧙ ꧑꧐

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Untuk menggunakan angka di tengah kalimat, memerlukan tanda pangkat (꧇…꧇). Tanda pangkat ini sebagai penanda angka dan ditulis mengapit pada aksara angka.

Contoh: “Tanggal 15 Juni”, menjadi ꦠꦁꦒꦭ꧀꧇ꦒ꧕꧇ꦗꦸꦤꦶ

 

Aksara Murda

Aksara Murda adalah huruf yang digunakan untuk menulis awal kalimat dan bisa digunakan untuk menulis gelar, kota, dan lembaga. Kegunaan lengkapnya adalah sebagai berikut:

  • Untuk menuliskan nama seseorang
  • Untuk menuliskan gelar kehormatan. Biasanya seperti gelar kedudukan, pangkat maupun gelar akademis. Contohnya Prabu, Senopati, Gubernur, Bupati, Kyai, dan yang lainnya
  • Untuk menuliskan nama instansi, sekolah, perusahaan, organisasi maupun komunitas
  • Untuk menulis nama tempat. Contohnya Jakarta, Surabaya, Malang.

Penulisan aksara ini juga tidak boleh sembarangan, karena masing-masing telah memiliki fungsi sebagai petanda huruf kapital. Bila diterapkan pada kata-kata yang sebenarnya tidak memerlukan huruf kapital di dalamnya, tentu saja ini menjadi kurang tepat, sebab hal tersebut sudah keluar dari kaidah penulisan.

Aksara murda terdiri dari 7 huruf, yaitu:

  1. ꦟ = Na
  2. ꦑ = Ka
  3. ꦡ = Ta
  4. ꦯ = Sa
  5. ꦦ = Pa
  6. ꦓ = Ga
  7. ꦨ = Ba

Contoh penulisan:

  1. Indonesia – ꦆꦤ꧀ꦢꦺꦴꦟꦺꦱꦶꦪ
  2. Mas Bayu lagi futsal – ꦩꦱ꧀​ꦨꦪꦸ​ꦭꦒꦶ​ꦥ꦳ꦸꦠ꧀ꦱꦭ꧀
  3. Pak Andi nitih sepeda – ꦥꦏ꧀​ꦫꦑ​ꦤꦶꦠꦶꦃ​ꦱꦺꦥꦺꦢ
  4. Aku lungo menyang Surakarta – ꦄꦏꦸ​ꦭꦸꦔ​ꦩꦺꦚꦁ​​ꦯꦸꦫꦏꦂꦠ.

 

Sandhangan Aksara Jawa

Sandangan aksara Jawa merupakan simbol atau penanda yang membantu sistem penulisan Jawa. Jika pada Aksara Jawa lengkap hanya memiliki vokal /a/, maka sandhangan akan membubuhkan huruf vokal lainnya, seperti i, u, e, dan o.

Adapun berikut ini jenis sandhangan Aksara Jawa, di antaranya:

1. Sandangan Swara

Sandangan swara akan membantu mengubah bunyi vokal yang semula hanya berupa suku kata terbuka “a” menjadi “i”, “é”, “e”, “u”, dan “o”.

Berikut nama dan contoh sandhangan Aksara Jawa beserta bunyinya:

  • Wulu, sandangan untuk mengubah bunyi aksara menjadi [i] misal pada kata iki, contoh: ꦲꦶꦏꦶ
  • Taling, sandangan untuk mengubah bunyi aksara menjadi [é] misal pada kata lele, contoh: ꦭꦺꦭꦺ
  • Pepet, sandangan untuk mengubah bunyi aksara menjadi [e] misal pada kata sega (nasi), contoh: ꦱꦼꦒ
  • Suku, sandangan untuk mengubah bunyi aksara menjadi [u] misal pada kata buku, contoh: ꦧꦸꦏꦸ
  • Taling tarung, sandangan untuk mengubah bunyi aksara menjadi [o] misal pada kata loro, contoh: ꦭꦺꦴꦫꦺꦴ

2. Sandangan Sigeg atau Panyigeg Wanda

Contoh Sandhangan Aksara Jawa ini berfungsi mengubah aksara menjadi bunyi konsonan:

Biasanya, sandangan sigeg berada di akhir suku kata yang berakhiran pada huruf tersebut.

  • Wignyan mengubah bunyi aksara seolah berbunyi [h] misal pada kata bah.
    Contoh: ꦧꦃ
  • Layar mengubah bunyi menjadi [r] misal pada kata bar.
    Contoh: ꦧꦂ
  • Cecak, mengubah bunyi aksara menjadi [ng] misal pada kata bang.
    Contoh: ꦧꦁ

3. Sandangan Anuswara

Anuswara akan mengubah bunyi aksara agar muncul peluluhan bunyi konsonan, yaitu [y], [r], dan [w].

  • Péngkal, sandangan untuk mengubah bunyi aksara seolah mendapat peluluhan konsonan [y] misal pada kata kya, contoh: ꦏꦾ
  • Cakra, sandangan untuk mengubah bunyi aksara seolah mendapat peluluhan konsonan [r] misal pada kata kra, contoh: ꦏꦿ
  • Gembung, sandangan untuk mengubah bunyi aksara seolah mendapat peluluhan konsonan [w] misal pada kata kwa, contoh: ꦏ꧀ꦮ

4. Sandangan Pangku atau Pangkon

Sandangan ini khusus untuk mematikan kata atau mengakhiri sebuah kalimat.

Maka dari itu, sandangan ini hanya berada di akhir kalimat serta untuk menghindari penulisan bertumpuk dua tingkat di akhir kalimat.

Contoh pangkon pada kata mas: ꦩꦱ꧀

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.